Jumat, 10 Desember 2010

Ngata Toro: Living in Harmony


Kata ‘ngata­ memiliki arti desa, adapun ‘toro’ merupakan nama masyarakat adat yang ada di desa tersebut. Secara administrasi Desa Toro terletak di Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten Sigi merupakan kabupaten baru yang masih berumur 2 tahun hasil pemekaran dari kabupaten induknya, Donggala, yang terkenal dengan kulinernya yang khas, kaledo.  Desa Toro tepat berbatasan dengan kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).  

Awal ketika memasuki kawasan desa Toro tidak ada sesuatu yang istimewa. Desa yang keadaan fisiknya tidak bebeda jauh dengan desa-desa lain di Indonesia. Akses jalan untuk mememasuki desa ini pun terbilang lumayan bagus meskipun masih menggunakan material pasir dan batu sehingga tidak heran jika di depan beberapa rumah warga Toro telah terparkir sebuah mobil. Jaringan listrik juga telah menyapa penduduk di desa Toro. Tidak ketinggalan pula antena parabola yang berdiri gagah di rumah warga menandakan bahwa isi “kotak ajaib” telah banyak dinikmati oleh masyarakat Toro. Style penduduknya pun, khususnya kaum muda tak kalah dengan orang kota, mungkin akibat dari terlalu seringnya melihat artis-artis ibukota yang berperan dalam sinetron yang menggambarkan glamornya kehidupan.

Sabtu, 27 November 2010

Jangan Terbuai Kearifan “Lokal”


Judul diatas merupakan judul yang sama persis dengan salah satu artikel yang dimuat oleh harian Kompas pada rubrik lingkungan dan kesehatan. Artikel yang saya temukan saat bersantai ditengah-tengah kesibukan menyelesaikan tugas sebagai seorang pegawai bawahan. Jiwa yang lelah sejenak bangkit kembali setelah melihat artikel yang menggugah otak yang telah dangkal ini. Sebagai seorang yang bertugas dan berkecimpung dalam dunia pemberdayaan masyarakat, melihat atau pun mendengar kata “kearifan lokal” merupakan sesuatu yang layak untuk disimak.  

Dalam artikel tersebut tertulis perkataan Iwan Tjitradjaja yang merupakan seorang dosen antropologi dari salah satu universitas terkemuka di Indonesia, UI. Beliau berkata bahwa “meski sebagian komunitas masyarakat Indonesia memiliki kearifan lokal dalam menghadapi bencana di daerahnya, itu tidak perlu dilebih-lebihkan. Selain kearifan, sebagian besar masyarakat justru memiliki banyak sisi ketidaktahuan dan kekurangtahuan memahami bencana.” Dengan membaca perkataan beliau, ingatan saya langsung tertuju pada sosok seorang Mbah Maridjan  yang menjadi korban dalam tragedi bencana letusan Gunung Merapi yang juga merenggut puluhan korban jiwa serta meluluhlantakkan apapun  yang ada di lereng Merapi.

Selasa, 23 November 2010

3 Kemungkinan Terkabulya Doa

Sudah bertahun-tahun, si Muhammad selalu memanjatkan do’a. Tak kunjung pula dikabulkan. Lama-kelamaan ia pun lantas berputus asa.
Mungkin ada satu pelajaran yang si Muhammad belum mengetahuinya termasuk pula kita. Perlu dipahami bahwa setiap do’a yang kita panjatkan—jika memang terpenuhi syarat-syaratnya—niscaya diijabahi. Namun belum tentu yang kita minta bisa persis seperti itu. Boleh jadi Allah beri yang lebih baik. Boleh jadi Allah alihkan ke pilihan lain karena siapa tahu yang kita minta bisa mencelakakan diri kita. Barangkali pula Allah berikan persis sesuai dengan apa yang kita minta. Ini semua tergantung pada hikmah Allah Ta’ala.

Contoh gampangnya seperti seorang dokter. Ia mendapati pasien yang sakit dan ingin diobati. Si pasien mengeluhkan penyakitnya seperti ini dan seperti ini. Lantas dokter pun memberikan ia resep obat. Boleh jadi yang ia beri adalah yang persis yang diminta oleh si pasien. Boleh jadi pula dokter beri resep yang lebih baik, lebih dari yang si pasien kira. Boleh jadi pula si dokter memberi resep obat yang lain, tidak seperti yang si pasien minta, namun dokter tersebut tahu mana yang terbaik. Demikianlah permisalan terkabulnya do’a.

Minggu, 21 November 2010

Derita Bisa Jadi Nikmat

Sebuah pelajaran berharga dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Semoga dapat menghibur hati yang sedang luka atau merasakan derita.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
Di antara sempurnanya nikmat Allah pada para hamba-Nya yang beriman, Dia menurunkan pada mereka kesulitan dan derita
Disebabkan derita ini mereka pun mentauhidkan-Nya (hanya berharap kemudahan pada Allah, pen). Mereka pun banyak berdo’a kepada-Nya dengan berbuat ikhlas. Mereka pun tidak berharap kecuali kepada-Nya. Di kala sulit tersebut, hati mereka pun selalu bergantung pada-Nya, tidak beralih pada selain-Nya. Akhirnya mereka bertawakkal dan kembali pada-Nya dan merasakan manisnya iman. Mereka pun merasakan begitu nikmatnya iman dan merasa berharganya terlepas dari syirik (karena mereka tidak memohon pada selain Allah). Inilah sebesar-besarnya nikmat atas mereka.