Sabtu, 27 November 2010

Jangan Terbuai Kearifan “Lokal”


Judul diatas merupakan judul yang sama persis dengan salah satu artikel yang dimuat oleh harian Kompas pada rubrik lingkungan dan kesehatan. Artikel yang saya temukan saat bersantai ditengah-tengah kesibukan menyelesaikan tugas sebagai seorang pegawai bawahan. Jiwa yang lelah sejenak bangkit kembali setelah melihat artikel yang menggugah otak yang telah dangkal ini. Sebagai seorang yang bertugas dan berkecimpung dalam dunia pemberdayaan masyarakat, melihat atau pun mendengar kata “kearifan lokal” merupakan sesuatu yang layak untuk disimak.  

Dalam artikel tersebut tertulis perkataan Iwan Tjitradjaja yang merupakan seorang dosen antropologi dari salah satu universitas terkemuka di Indonesia, UI. Beliau berkata bahwa “meski sebagian komunitas masyarakat Indonesia memiliki kearifan lokal dalam menghadapi bencana di daerahnya, itu tidak perlu dilebih-lebihkan. Selain kearifan, sebagian besar masyarakat justru memiliki banyak sisi ketidaktahuan dan kekurangtahuan memahami bencana.” Dengan membaca perkataan beliau, ingatan saya langsung tertuju pada sosok seorang Mbah Maridjan  yang menjadi korban dalam tragedi bencana letusan Gunung Merapi yang juga merenggut puluhan korban jiwa serta meluluhlantakkan apapun  yang ada di lereng Merapi.


Mengapa ingatan saya langsung tertuju ke sosok juru kunci Merapi itu?? Karena otak saya yang telah mengalami degradasi kecerdasan (yang sebelumnya memang telah berada dalam keadaan IQ yang memprihatinkan) ini berfikir bahwa si mbah ini merupakan sosok yang menjadi simbol dari kearifan lokal masyarakat yang hidup di lereng Merapi. Perkataannya sangat digugu (dipatuhi) dalam semua hal yang berkenaan dengan Merapi, pun dalam hal status ancaman yang disandang oleh Merapi. Perkataan si mbah lebih masyarakat lereng Merapi percayai daripada badan pemerintah yang memiliki peralatan yang cukup canggih yang ditugasi dalam memantau aktivitas Merapi. Masyarakat lereng Merapi tidak akan bergerak untuk menjauh dari Merapi sebelum ada sabda dari si mbah.

Kearifan lokal memang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat  yang terutama tinggal di daerah yang masih menyandang status pedalaman maupun status ndeso (daerah pedesaan). Masyarakat daerah tersebut memiliki suatu pemahaman atau kepercayaan yang diakui kebenarannya dalam berbagai hal, termasuk berkenaan dengan bencana. Masyarakat dapat mengetahui (lebih pas-nya memprediksi) datangnya bencana dari tanda-tanda alam yang telah mereka ketahui sebelumnya. Namun, perlu diingat bahwa tanda-tanda alam datangnya bencana masih sama jika kondisi alam tidak mengalami perubahan. Kondisi lingkungan alam yang berubah cepat juga akan berpengaruh terhadap indikator-indikator terjadinya bencana. Hal ini juga dikatakan oleh Iwan Tjitradjaja bahwa “kearifan lokal juga menghadapi tantangan akibat kondisi lingkungan yang berubah cepat. Perusakan lingkungan oleh kekuatan di luar masyarakat setempat membuat sejumlah indikasi, pengamatan dan pemahaman warga tentang tanda-tanda bencana turut berubah. Perubahan itu terjadi tanpa disadari oleh masyarakat.” Kondisi alam yang berubah cepat inilah yang menyebabkan prediksi-prediksi masyarakat tentang bencana seringkali keliru.

Kearifan lokal dan ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang dapat berjalan bersama. Keduanya dapat saling mendukung dalam memaknai kehadiran bencana. Masyarakat perlu tahu dan harus berusaha tahu mengenai hal-hal yang berkenaan dengan bencana dari segi ilmu pengetahuan terutama masyarakat yang hidup di daerah berdampingan dengan bencana. Masyarakat perlu memperhatikan dengan seksama peringatan-peringatan yang disampaikan pemerintah dalam menghadapi bencana sehingga bencana yang datang tidak menimbulkan korban jiwa yang begitu banyak.

Tulisan ini tidak untuk menghakimi mana yang perlu diikuti apakah kearifan lokal atau ilmu pengetahuan. Tidak juga utuk menghakimi masyarakat yang memegang erat terhadap kearifan lokal yang mereka yakini. Karena tulisan ini hanya muncul dari orang yang sedang mengalami kebosanan dalam stadium akut yang perkataannya tidak perlu digugu dan ditiru.

NB:
Musibah atau bencana yang dianggap hanya sebagai proses alam sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kita sebagai manusia yang menjadi khalifah di bumi yang diamanahi untuk menjaga alam. Dimana salah satu kewajibannya adalah melestarikan alam dan lingkungan hidup dengan sebaik-baiknya. Menggunakan sumberdaya alam dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan. Tidak menjadikan lingkungan hidup menjadi rusak karena Allah melarang pebuatan tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56 yang artinya:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya…”
Ayat Al-Qur’an diatas dengan jelas mengatakan bahwa kita sebagai khalifah di muka bumi dilarang untuk membuat kerusakan terhadap alam.

Bencana alam juga merupakan salah satu bentuk peringatan Allah kepada hambanya untuk kembali ke jalan yang lurus. Jalan yang menuntut kita untuk mengikhlaskan diri dalam beribadah hanya kepada Allah, Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Apapun yang terjadi di alam semesta tidak lepas dari campur tangan Allah Yang Maha Berkehendak. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi. Tidak ada yang dapat menghalangi kehendak-Nya meskipun seluruh makhluk mulai awal diciptakannya semesta hingga kiamat berkumpul untuk menghalanginya. Apalagi cuma seekor kerbau dan beberapa ekor ayam jago yang disembelih dan  kepalanya ditanam untuk menolak bencana. Sungguh sesuatu perbuatan yang tidak dapat dicerna oleh orang yang hati dan jiwanya masih dalam jalur fithroh.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar