Jumat, 10 Desember 2010

Ngata Toro: Living in Harmony


Kata ‘ngata­ memiliki arti desa, adapun ‘toro’ merupakan nama masyarakat adat yang ada di desa tersebut. Secara administrasi Desa Toro terletak di Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten Sigi merupakan kabupaten baru yang masih berumur 2 tahun hasil pemekaran dari kabupaten induknya, Donggala, yang terkenal dengan kulinernya yang khas, kaledo.  Desa Toro tepat berbatasan dengan kawasan konservasi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).  

Awal ketika memasuki kawasan desa Toro tidak ada sesuatu yang istimewa. Desa yang keadaan fisiknya tidak bebeda jauh dengan desa-desa lain di Indonesia. Akses jalan untuk mememasuki desa ini pun terbilang lumayan bagus meskipun masih menggunakan material pasir dan batu sehingga tidak heran jika di depan beberapa rumah warga Toro telah terparkir sebuah mobil. Jaringan listrik juga telah menyapa penduduk di desa Toro. Tidak ketinggalan pula antena parabola yang berdiri gagah di rumah warga menandakan bahwa isi “kotak ajaib” telah banyak dinikmati oleh masyarakat Toro. Style penduduknya pun, khususnya kaum muda tak kalah dengan orang kota, mungkin akibat dari terlalu seringnya melihat artis-artis ibukota yang berperan dalam sinetron yang menggambarkan glamornya kehidupan.


Menunjungi Desa Toro merupakan pengalaman yang sungguh mengesankan setelah berdialog dengan perangkat desa dan unsur adat masyarakat Toro. Masyarakat Toro merupakan salah satu masyarakat yang masih memegang adat dengan kuat disaat gelombang globaliasi terus menghantam berbagai lini kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini, meskipun jelas ada yang mengalami sedikit distorsi kebudayaan. Aturan adat masih banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari menyambut tamu hingga aturan adat yang berhubungan dengan lingkungan sekitar. Konsistennya masyarakat Toro memegang adat terlihat dari semboyan yang tertulis dengan warna merah dengan background putih disetiap gapura pintu masuk depan rumah warga. Semboyan itu berbunyi “MAROHO ADA MANIMPU NGATA”, yang bermakna “KUATNYA ADAT TERATURNYA DESA.”

Masyarakat adat Toro dipimpin oleh seorang Totua Ngata, meskipun telah ada kepala desa yang mengatur jalannya pemerintahan desa. Hubungan yang harmonis terjalin antara tetua ngata dan kepala desa. Aturan-aturan yang dibentuk oleh pemerintah desa selalu sejalan dengan aturan-aturan adat. Tidak ada tumpang tindih antara aturan desa dengan aturan adat. Dalam setiap pertemuan yang membahas aturan-aturan desa, unsur perwakilan adat sesuatu yang harus ada.   

Dalam mengelola hutan, masyarakat Toro memiliki kearifan lokal yang masih dipegang teguh. Masyarakat Toro membagi hutan layaknya sistem zonasi yang diterapkan oleh taman nasional dengan memerhatikan berbagai kondisi fisik yang ada di alam, meskipun tidak serumit apa yang ada di taman nasional dengan berbagai penelitian, pertimbangan, dan aturan plus dengan biaya yang tidak sedikit. Bagi masyarakat Toro, hutan merupakan anugerah Tuhan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, namun juga perlu dilestarikan keberadaannya. Melestarikan hutan merupakan suatu kesadaran yang telah tertanam di dalam diri masyarakat Toro, bukan merupakan ketaatan yang dibumbui keterpaksaan karena ketakutan melanggar hukum yang ditetapkan pihak berwenang. Keharmonisan hidup antara masyarakat Toro dengan alam tampak dari lestarinya hutan yang ada di sekitar Desa Toro. Hal yang sangat jarang ditemui di tempat lain.

Saat kami mengunjungi Desa Toro, lembaga adat dan pemerintah desa menerapkan aturan bagi masyarakat Toro untuk tidak mengambil hasil hutan selama lima tahun. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan kondisi hutan agar lebih baik. Aturan tersebut telah berjalan selama dua tahun terakhir.
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar