Jumat, 19 November 2010

Kisah Ayah dan Anak Pembawa Onta

Pastinya cerita ini tidak ditemukan sendiri. Ide-ide di otak terkadang meluncur liar, contohnya ketika anekdot ini muncul spontan dari rekan saya. Ide memang meluncur liar, sayang kesadaran makna muncul telat, baru setelah insyaf datang dan kewarasan menghapus distorsi parah di otak, akhirnya tulisan ini tertuang. Tidak perlu membahas mengenai penyebab guncangan otak, karena memang kurang penting disini. Kembali ke topik utama tulisan, kita ceritakan ulang anekdot brilian rekan saya ini.
Alkisah suatu masa di negeri entah dimana letaknya, berjalanlah seorang ayah bersama anaknya untuk bersafar di negeri tetangga. Mereka berdua melangkah melintasi perkampungan sambil menuntun seekor unta sebagai kendaraan. Singkat cerita, karena merasa kasihan dengan si anak, akhirnya diperintahkanlah oleh sang ayah agar anaknya menaiki punggung onta, sementara ia berjalan menuntun hewan berpunuk tersebut.
Belum jauh mereka melanjutkan perjalanan, bertemulah rombongan kecil ini dengan seorang tua. “Hei, keterlaluan sekali kau anak muda, mengapa kau biarkan Bapakmu yang renta berjalan sementara kau malah enak duduk di atas onta!!”, hardik orang tua tersebut pada si anak. “Dimana rasa hormatmu pada bapakmu?”, lanjut orang tua tersebut ketus. Tanpa perlu menjawab, dengan kesadaran tinggi anak itu turun dari onta, dan mempersilakan sang bapak duduk diatas onta.
Merasa tidak nyaman, bapak ini akhirnya menuruti kemauan anaknya. Tak lama, satu dua langkah kaki onta berjalan, bertemulah mereka dengan seorang aktivis perlindungan hak asasi anak. Dia berucap, “Wahai bapak yang mulia, mengapa kau biarkan anakmu yang masih kecil berjalan di terik mentari”. Ucapan yang wajar mengingat onta ada di padang pasir yang begitu panas, bukan di hutan tropis. Sejenak sang bapak tertegun, berpikir dan pada akhirnya bermusyawarah dengan anaknya dan sepakat meneruskan perjalanan. “Bapak akan turun nak, biarkan hewan ini tanpa beban, tunjukkan solidaritas kita pada onta renta ini, biar kita jalan bersama”. Bapak ini pada akhirnya turut berjalan. Akhirnya mereka berdua berjalan kaki, dengan membawa onta.
Tak lama kemudian mereka berjalan, tibalah mereka di padang gersang nan panas. Suasana sungguh menyiksa, terutama karena mereka berjalan kaki dan makin parah karena tidak adanya gerai siap saji di jalan. Bertemulah mereka dengan seorang saudagar kaya bersama kafilahnya. Melihat kondisi anak dan ayah pembawa onta itu, bertitahlah saudagar itu “Dasar dungu, mengapa kau sia-siakan punggung ontamu, bukankah lebih baik jika kau duduk bersama anakmu diatasnya”.
“Nak, mari kita sama-sama menaiki onta ini, tidak enak rasanya menjadi bahan gunjingan”, Bapak tersebut berbisik sambil bergidik pada anaknya, takut disindir lagi rupanya. Mendengar ucapan itu, kembali sang bapak khawatir. Wajahnya pucat sementara sang anak bingung memikirkan yang sebenarnya terjadi. “Apa yang mereka pikirkan?’, mungkin itu yang ada dalam benak anak kecil itu sekarang.
Satu dua tiga langkah onta berjalan, sesaat itu pula ucapan orang lain kembali terlontar. “Hei, tak kasiankah kalian pada onta renta itu? Dasar keterlaluan kalian menyiksa binatang”, rupanya kali ini golongan pecinta binatang unjuk suara. Mendengarnya, sang bapak terkejut dan terpana kebingungan. Wajahnya merah padam menahan jengkel, bingung dan heran yang bercampur jadi satu. Gado-gadolah yang tersaji dalam benak sang bapak tua ini.
Akhirnya sejurus langkah diambil olehnya. “Sudah nak, biar bapakmu selesaikan ini”, ujarnya pada si anak. Tanpa banyak bicara digendonglah onta itu di pundaknya. Melihat itu, berteriaklah seseorang lain dengan keras “Dasar pria gila”. Mendengar itu sang anak yang mulai tidak sabar akhirnya angkat suara pada sang bapak, “Sudahlah bapak, biar saya naik angkot saja”.
Anekdot ini mungkin terasa kurang lucu, maklum lah bukan dari saya sendiri terlontar. Inspirasi teman singkatnya dengan sedikit kata-kata bualan dari saya. Namun, jika kita telaah banyak pelajaran tersimpan. Pelajaran yang dapat kita renungkan bersama. Mari kita berhitung lagi secepat apa hikmahnya keluar dari benak dan hati kita. Sangat baik jika hikmah itu muncul secepat meluncurnya anekdot ini dengan ringannya saat kami berbincang santai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar